Sertifikasi Halal di Indonesia: Membangun Kesadaran dan Kesiapan Industri
Sertifikasi halal saat ini di Indonesia telah menjadi wajib sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang kemudian diperkuat dengan UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 serta Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2021. Mulai 17 Oktober 2024, semua produk makanan dan minuman, termasuk produk Usaha Kecil Menengah (UKM) di sektor ini, diwajibkan bersertifikasi halal dengan proses self-declare yang mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), sebuah lembaga di bawah Kementerian Agama yang bertugas mengatur, mengawasi, dan melaksanakan semua aspek terkait Jaminan Produk Halal di Indonesia.
BPJPH dibantu oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa produk halal, serta lembaga pemeriksa halal (LPH) yang melakukan uji laboratorium terkait bahan-bahan yang digunakan dalam suatu produk. LPH ini dapat didirikan oleh organisasi masyarakat yang memiliki badan hukum, termasuk lembaga di lingkungan kampus. Sumber Daya Manusia (SDM) yang dikembangkan melalui program sertifikasi mencakup auditor halal, penyelia halal, pendamping halal, asesor halal, dan juru sembelih halal, masing-masing dengan kompetensi dan persyaratan yang telah diatur oleh regulasi.
BPJPH menetapkan ketentuan, kriteria, dan standar untuk pemenuhan sertifikasi halal. Secara institusional, Indonesia telah mempersiapkan diri untuk memberikan fasilitasi dan layanan terkait sertifikasi produk-produk yang beredar di Indonesia, baik yang diproduksi secara lokal maupun diimpor. Namun, tantangan utama adalah kesiapan pelaku usaha, baik dari industri besar maupun UKM, yang dapat dikenai sanksi jika hingga 17 Oktober 2024 belum memperoleh sertifikasi halal.
Dukungan dan sinergi dari kementerian terkait, seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perdagangan, Pertanian, Kesehatan, serta pemerintah daerah, sangat diperlukan. Namun, hal ini menjadi persoalan jika masing-masing kementerian tidak siap untuk mendukung implementasi gerakan halal.
Beberapa masalah yang perlu diatasi secara bertahap meliputi sosialisasi dan literasi halal bagi masyarakat dan pelaku usaha, perumusan aturan yang lebih teknis hingga tingkat perda karena otoritas pemerintah daerah di wilayahnya, konsistensi standar halal baik secara nasional maupun internasional untuk produk ekspor, peningkatan kompetensi SDM terutama para pendamping halal, sistem informasi terintegrasi untuk memperlancar proses, alokasi anggaran baik dari pemerintah maupun pelaku usaha, serta peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya sertifikasi halal.
Penyelesaian masalah ini memerlukan kerjasama sinergis dan harmonisasi kebijakan antara kementerian terkait dan pemangku kepentingan lainnya, serta pengembangan mekanisme dan sistem koordinasi yang terstruktur. Meskipun sanksi penting untuk menegakkan hukum, kesadaran masyarakat dalam menciptakan ekosistem yang kondusif bagi implementasi jaminan produk halal lebih vital. Konseptualnya, jaminan produk halal harus dipahami secara holistik dan komprehensif, mencakup aspek syariah, kesehatan, kebersihan, dan nilai kompetitif produk. Hal ini sangat penting terutama dalam konteks ekspor, di mana sertifikasi halal dapat meningkatkan kualitas produk, citra merek, nilai tambah, dan kebanggaan nasional.
Indonesia, yang saat ini menempati peringkat ketiga secara global menurut laporan SGIE (State of Global Islamic Economy) tahun 2023, memiliki visi menjadi pusat hub halal dunia. Selain makanan dan minuman, sektor lain seperti kosmetik, busana muslim, wisata halal, obat-obatan, serta perbankan dan keuangan syariah terus dikembangkan sebagai produk halal. Peran negara-negara lain seperti Thailand, Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, Selandia Baru, Australia, dan Malaysia yang telah aktif dalam industri makanan halal, wisata halal, dan produk halal lainnya, menunjukkan pentingnya Indonesia mempertahankan posisinya dalam ekonomi halal global.