Keterlibatan Perempuan dalam Politik Masih Terkendala Stereotip Masyarakat
JAKARTASATU.COM — Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Euis Amalia menyoroti kondisi isu gender yang terjadi di Indonesia. Euis hadir sebagai salah satu narasumber dalam talkshow yang digelar di Ruang Sidang Paripurna Nusantara V, DPR RI, Jakarta, pada Senin (27/3/23).
Talkshow yang diselenggarakan Kohati PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bersama Perempuan Inspiratif Indonesia ini mengangkat tema Kuota 30% Perempuan dalam Politik “Representasi atau Partisipasi”.
Euis memaparkan bahwa terjadi kenaikan persentase keterlibatan perempuan dalam politik dengan Minahasa sebagai daerah tertinggi dengan angka 48,57%.
“Dari 2018, 17,32%. Di 2021 kemarin 21,89% jadi kita tepuk tangan, naik dong,” ujarnya.
“Keterlibatan perempuan yang paling tinggi, cuma datanya saya cek sampai 2021, belum sampai 2022. Minahasa itu termasuk di atas 30%, 48, 57%. Kemudian Aceh 36,67%, Surabaya 32%,” sambungnya.
Meskipun begitu, Euis mengakui bahwa keterlibatan perempuan dalam dunia politik belum merata di berbagai daerah. Ia tetap mengapresiasi perjuangan perempuan dikarenakan sudah masuk ke dalam kebijakan politik, misalnya UU No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu yang menyebut keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
“Terlepas dari ada problem-problem (permasalahan) psikologis dan juga yang lain, itu sudah masuk ke dalam sebuah kebijakan politik. Menurut saya, ini perjuangan yang luar biasa,” ungkapnya.
Terlepas dari hal tersebut, Euis juga menyoroti kendala keterlibatan perempuan dalam politik. Ia menyebutkan, hal itu dapat berbentuk kendala kultural, kendala struktural, atau juga berdampak pada stereotip budaya dan interpretasi keagamaan. Oleh karena itu, interpretasi terhadap Al-Quran dan sunah juga tidak boleh misogini atau bias gender.
“Perempuan harus mampu juga menggiring sebuah penafsiran-penafsiran yang tetap dalam koridor Quran dan sunah dan tentu punya kemampuan untuk memberikan tafsir yang berkeadilan gender. Banyak ayat-ayat yang ditafsirkan parsial, tidak dikaitkan secara komprehensif dan holistik. Sehingga mendapatkan kesan misoginis,” jelasnya.
Kemudian, stereotip dan sistem patriarki yang berkembang di masyarakat Indonesia menjadi kendala kurangnya keterlibatan perempuan dalam politik. Dukungan masyarakat terhadap keterwakilan perempuan juga diperlukan selain kapasitas dan kemampuan. (oct/CR-JAKSAT)
sumber: jakartasatu